Selasa, 25 Oktober 2011

Kesenian Tari Barong



TARI BARONGSANGAT MEMBERIKAN WARNATERHADAP KEBUDAYAAN BALI

Karya Tulis
Disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan mengikuti Ujian Akhir Nasional
pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kartasura
Tahun Ajaran 2011-2012

Iqbal M Ikhsan
IX F/21
Sekolah Menengah Pertama
SMP N 1 Karatasura


PENGESAHAN
Karya tulis ini diterima dan diterima dan disetujui guru pembimbing serta disahkan oleh kepala sekolah SMP N 1 Kartasura

Pada hari,
Tanggal

Pembina 1                                                                                        Pembina 2

Drs. Tri Nugroho Joko M                                                           Haryati,S. Pd
NIP. 121281198                                                                         NIP. 131667778


Mengesahkan
Kepala Sekolah SMP N 1 Kartasura

Prihatin Budi Rahayu,S. Pd
NIP.131265765




MOTTO
·        Meraih Sukses dengan Menjadi Kreatif

·        Menjadi sukses adalah tujuan hidup bagi sebagian besar orang. Salah satu modal untuk meraih kesuksesan adalah dengan menjadi individu yang kreatif. Dengan kreatifitas yang dimiliki seseorang disertai dengan pengambilan langkah-langkah yang tepat dalam mengembangkan kreatifitas tersebut, Kesuksesan bisa dicapai. Ada beberapa langkah awal yang dapat diambil untuk mencapai kesuksesan dengan memanfaatkan ide kreatif yang Anda miliki, diantaranya:

·        Coba sesuatu yang baru
·        Jangan pernah takut untuk mencoba, karena segala sesuatu hal berawal dari mencoba sampai akhirnya Anda sendiri yang menilai apakah Anda sudah mampu dalam bidang tersebut atau belum. Selain itu, dengan banyak mencoba Anda akan semakin tertempa untuk mampu menyelesaikan segala macam masalah yang Anda hadapi dalam bidang tersebut.

·        Mewujudkan ide
·        Jika Anda mempunyai ide positif, aplikasikan hal tersebut kedalam satu bidang yang mampu Anda pertanggung jawabkan.

·        Bergerak sedikit demi sedikit
·        Mulailah menggarap sedikit demi sedikit ide yang ada dalam pikiran Anda, jangan jadikan ide tersebut hanya sebatas wacana.

·        Banyak bertanya
·        Tanyakan kepada orang yang lebih berpengalaman karena hal itu akan menambah wawasan serta informasi yang kita butuhkan dalam memulai satu pekerjaan.
·        Jalan terbaik dalam mencari kawan adalah kita harus berlaku sebagai kawan.  Bukan harta kekayaanlah, tetapi budi pekerti yang harus ditingalkan sebagai pusaka untuk anak – anak kita.

·        Tanah yang digadaikan bisa kembali dalam keadaan lebih berharga, tetapi kejujuran yang pernah digadaikan tidak pernah bisa ditebus kembali.


·        Kebaikan tidak bernilai selama diucapkan akan tetapi bernilai sesudah dikerjakan.

·        Hidup tidak menghadiahkan barang sesuatupun kepada manusia tanpa bekerja keras.


·          Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri. (Ibu Kartini )

·        Iri hati tidak pernah memperkarya diriHarapan dan ketakutan tidak akan pernah berjalan bersamaan

·        Kemauan dan kesabaran adalah modal utama untuk meraih kesuksesan

·        Jagalah janjimukarena janji adalah ukuran kejujuran


PERSEMBAHAN
           
            Sebagai ungkapan rasa terima kasih yang amat dalam karya tulis ini penulis mempersembahkan :
1.     Kepala Sekolah SMP,karena telah mengesahkan karya tulis ini.
2.     Kepada Guru pembimbing,karena telah membimbing dan mengajari cara pembuatan karya tulis ini.
3.     Kepada para petugas Perpustakaan sekolahan yang telah memberikan kami kesempatan untuk mempelajari karya tulis ini.
4.     Kepada teman-temanku yang ada dikelas IX F terima kasih untuk memberikan inspirasi untuk membuat karya tulis ini.
5.     Kepada Orang tua yang telah mengijinkan untuk membuat karya tulis ini.
6.     Adik-adik kelas VII dan VIII yang gemar membaca dan senang akan pengetahuan yang baru.










 
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah SWT atas rahmat taufik hidayah inayah-Nya yang menyertai penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Dalam menyusun karya tulis ini banyak hambatan dan kesulitan tetapi berkat bimbingan bantuan, pengarahan dan sebagian mak penulis meyelesaikan karya tulis ini.
Dalam karya tulis ini penulis dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam menyusun karya tulis :
1.     Ibu Prihatin Budi Rahayu, S.Pd. selaku kepala sekolah SMP N 1 KARTASURA yang telah mengizinkan penulis untuk menyusun karya tulis ini.
2.     Bapak Drs. Tri Nugroho Joko M, selaku pembimbing dalam menyusun karyatulis ini dan telah memberikan bekal dan dorongan pada penulis.
3.     Bapak / ibu guru yang telah memberikan bekal dan dorongan kepadapenulis yang sangat berguna bagi penulis dalam menyusun karya tulis.  
4.     Teman-teman yang telah memberikan dorongan dan bantuan padapenulis

Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun karyatulis ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan maka penulismasih banyak kekurangan-kekurangan dalam karya tulis ini . Oleh karenaitu penulis senantiasa mengharap kritik dan saran yang bersifatmembangun karya

KARTASURA




Penulis


Iqbal M Ikhsan
DAFTAR ISI
1.     Halaman Judul
2.     Halaman Pengesahan
3.     Halaman Motto
4.     Halaman Persembahan
5.     Kata Pengantar
6.     Daftar isi
BAB I Pendahuluan
1.1.         Latar Belakang Masalah
1.2.         Ruang Lingkup
1.3.         Tujuan Penulisan
1.4.         Metode Penulisan
1.5.         Sistem Penulisan
BAB II Pembahasan Masalah
2.1.     Sejarah Tari Barong
2.2.     Jenis Barong
2.3.     Asal-usul Rangda
2.4.     Jalan cerita Tari Barong
BAB III Analisis
BAB IV Penutup
3.1.     Kesimpulan
3.2.     Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN








BAB I Pendahuluan
1.1.Latar Belakang

Geografi

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°2523 Lintang Selatan dan 115°1455 Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.


Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.

Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan.

PULAU BALI


Peta Pulau Bali






Bali kini adalah Bali yang hidup dalam dua dunia. Dua dunia yang sangat berbeda, saling tarik-menarik, memperebutkan ruang-ruang nyata alam Bali maupun ruang-ruang kejiwaan manusia Bali . Dunia yang satu adalah dunia tradisional agraris yang telah berakar paling tidak sejak 4000 tahun lalu, berjiwa Hindu, dengan beraneka ragam ekspresi budayanya; dan dunia yang lain adalah dunia modern peradaban Barat yang datang ke Bali sebagai konsekuensi dari eksplorasi dan eksploitasi (penjajahan) Dunia Barat (Belanda) di pengawal abad ke 17 yang memperkenalkan Bali kepada perdagangan dunia, kapitalisme berikut konsumerismenya yang kian mengglobal.

Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis ritual adat-agama yang masih dilakoni orang Bali , hampir di setiap waktu, dan kerap melibatkan seni pertunjukan baik sakral maupun sekuler (profan, hiburan). Sedang kehadiran dunia modern dapat dilihat dari berubahnya desa-desa agraris menjadi kota-kota dan kawasan-kawasan wisata seperti Denpasar, Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud dan terus merambah ke daerah-daerah lain; serta penduduk Bali yang kian gandrung dengan produk-produk modern seperti mobil, sepeda motor, barang-barang elektronik dan lainnya.
Dunia tradisional agraris berusaha bertahan agar tidak tergerus sementara dunia modern berusaha merebut karena memang itulah sifat kapitalisme dan konsumerisme. Orang Bali hidup, bergulat di antara dua dunia ini dan berusaha mengkompromikan kedua dunia yang saling bertentangan ini.
Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhur adalah hasil evolusi dan akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke pulau ini: nenek moyang dari Cina Selatan sekitar 4000 tahun lalu dan budaya Hindu-Buda baik langsung dari India maupun melalui Jawa melewat skenario perluasan wilayah kerajaan Hindu-Buda di Jawa ke Bali sejak awal abad ke 9. Sistim dan tatanan kehidupan inti seperti desa adat dengan banjar-nya yang direkat oleh konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura Keluarga (Sanggah/Merajan) serta organisasi pertanian bernama subak yang diperkirakan mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11 hingga kini tetap kuat keberadaannya di kota sekalianpun. Lembaga tradisional sosial religius seperti desa adat, banjar dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali (Lihat Pitana 2002). Dunia tradisi ini mengajarkan filsafat keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan yang tercapai bila terjadi keseimbangan antara kebutuhan badan, kebutuhan sosial dan spiritual. Konsepsi ini secara umum dikenal dengan Tri Hita Karana.
Dunia modern (Barat) masuk ke Bali sejak awal abad ke 17 dengan berkunjungnya penjelajah-penjelajah Eropa (baca Belanda) ke daerah Nusantara dengan motif komersial, mencari dan memperdagangkan rempah-rempah. Para pelaut dan saudagar itu juga menginjakkan kaki di Bali , kemudian melakukan perdagangan dengan raja-raja di Bali . Perburuan rempah-rempah yang berlanjut menjadi penjajahan Nusantara oleh Belanda. Di pengawal tahun 1990-an Bali dengan keunikan kebudayaannya mulai dikemas oleh Belanda untuk dijual sebagai produk wisata. Pariwisata budaya yang awalnya hanya dilakoni segelintir elite Barat (Eropa, Amerika) untuk tujuan melihat dan menikmati pulau tropis nan indah dengan budayanya yang kaya dan unik (eksotis) kini menjadi pariwisata yang mendatangkan orang dari berbagai belahan bumi dalam jumlah melebihi satu juta setiap tahunnya. Mereka dipercaya datang ke Bali untuk tujuan yang sama, menikamati kebudayaan Bali , walau tidak sedikit juga yang datang sekedar untuk melepas kejenuhan rutinitas kehidupan mereka yang intens dan untuk kepentingan usaha meraup keuntungan dan malah menetap di Bali . Hasil beberapa penelitian dan survey memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budaya Bali (Lihat Ardika 2004: 23).
Perkembangan Pariwisata Budaya Bali Usaha-usaha Belanda untuk menguasai Bali memang selalu mendapat perlawanan sengit. Belanda hanya mampu menguasai Bali secara keseluruhan pada tahun 1908 melalui penaklukan kejam yang dikecam luas di Eropa. Untuk memperbaiki citra, Belanda bergegas membuat kebijakan–kebijakan untuk melindungi dan menjaga Bali agar tetap ”tradisional”. Bali dipelajari dan dituliskan secara rinci dan sistematik oleh sarjana-sarjana Belanda. Sebuah kebijakan yang menurut Adrian Vickers, sarjana Australia , dalam bukunya Bali: A Paradise Created hanya bermaksud untuk bisa menjual Bali sebagai produk pariwisata.

Tidak lama berselang, tahun 1914, Maskapai Pelayaran Belanda (KPM) sudah menerbitkan brosur wisata tentang Bali sebagai ”pualu yang mempesona”, ”pulau pura dan puri”, ”pualu dewata” dan ”tempat wanita bertelanjang dada”. Mulai tahun-tahun itu KPM secara kontinyu membawa segelintir turis elite ke Bali .
Pada tahun 1925 KPM membangun Bali Hotel di Denpasar—hotel pertama di Bali . Di antara turis-turis elite tersebut ada seniman, antropolog maupun penulis yang dengan tulisan dan interpretasi mereka mulai tahun 1930-an mengentalkan citra Bali di mata dunia sebagai pulau surga. Citra yang tetap melekat hingga sekarang.
Beberapa sarjana berpendapat bahwa orang Bali mulai mendefinisikan kebudayaan mereka berdasarkan definisi yang digariskan oleh orang-orang luar tersebut. Orang Bali mematut-matut diri (melakukan apropriasi) mengukuhkan diri untuk senantiasa tampil tradisional; melakukan simulacra atau sandiwara tradisionalisas. Dalam usaha menjaga agar tetap tradisional Pemerintah Daerah Bali pun, melalui Perda Nomor 3 tahun 1974 (di revisi menjadi Nomor 3 tahun 1991) mencanangkan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah Pariwisata Budaya. Pariwisata yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai agama Hindu yang merupakan bagian dari Kebudayaan Nasional sebagai potensi dasar yang dominan.
Setelah jaman kemerdekaan Indonesia , usaha untuk secara maksimal mengembangkan Bali sebagai daerah tujuan wisata menjadi agenda penting pemerintahan Presiden Soekarno; terlebih-lebih pemerintahan Presiden Soeharto, dan berlanjut hingga sekarang. Pembangunan hotel mewah Bali Beach Hotel oleh Soekarno dan pengembangan kompleks pariwisata mewah Nusa Dua oleh Soeharto dengan Master Plan tahun 1971 oleh sebuah perusahaan perancis, SCETO, yang ditindak lanjuti dengan pembangunan 12 hotel mewah beserta sarana pendukung lainnya adalah contoh-contoh awal usaha-usaha tersebut (Rai, 2003). Pemodal besar terus menanamkan modalnya menciptakan boom pariwisata tahun 1980-an; pariwsata budaya yang massal terus berlanjut hingga sekarang. Bom Bali 2002 sempat membuat pariwisata Bali kelimpungan namun perlahan-lahan pulih.


Dilema Pariwisata Bali
Dilema pariwisata terhadap kelangsungan hidup alam dan budaya Bali sudah dikhawatirkan oleh para sarjana sejak tahun 1930-an.
Selama ini Pariwisata Bali berkonotasi dengan intervensi pihak luar: di jaman kolonial pihak Belanda dan segelintir orang asing lainnya, dan di jaman kemerdekaan pihak Pemerintah Pusat (dibantu para birokrat lokal) bersama para pemodal besar luar Bali. Penduduk lokal beserta budayanya dipandang sebagai obyek atau komoditas semata: penyedia atraksi budaya—menjadi tontonan—dan penyedia pelayanan. Perencanaan dan pengelolaan tidak menjadi porsi keterlibatan lokal. Sampai sekarang pun pola-pola ini tetap berjalan. Contoh termutakhir adalah pembabatan daerah kawasan hutan lindung di daerah Bedugul untuk hotel yang mengantongi ijin dari Jakarta tanpa sepengetahuan orang lokal; juga rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang dicurigai sebagai bagian dari skenario penguasaan lahan luas untuk pengembangan resort walau jelas-jelas mendapat penolakan luas dari masyarakat.
Tidak dipungkiri bahwa hingga saat ini pariwisata membawa berkah ekonomi kepada Bali, walau tidak merata karena ada sekelompok kecil orang lokal yang mendapat porsi yang besar. Namun secara umum, karena efek multiplier, terjadi peningkatan pendapatan perkapita atau daya beli masyarakat. Masuknya pemodal besar berpengaruh pada meningkatnya jumlah dan kualitas sarana pariwisata serta sarana pendukung termasuk perbaikan jalan-jalan di Bali yang memperlancar kegiatan ekonomi secara umum. Demikian juga industri pendukung atau ikutan berkembang pesat.
Peningkatan pendapatan perkapita oleh masyarakat Bali dialokasikan pada pemenuhan kebutuhan penunjang kehidupan modern, seperti biaya pendidikan, sarana transportasi, dan produk-produk modern lainnya. Sebagaimana manusia umumnya orang Bali juga tergiur godaan barang-barang konsumerisme. Dan tentu saja sebagian dialokasikan pada kegiatan ritual adat dan keagamaan, termasuk juga di dalamnya seni pertunjukan. Pola kehidupan dalam dua dunia ini menekan orang Bali untuk senantiasa memiliki uang. Ketergantungan Bali pada pariwisata untuk kelangsungan hidup Bali modern sudah sedemikian besar. Pariwsata sudah menjadi andalan utama, menggantikan pertanian dan industri kecil.
Sementara itu orang Bali juga menyaksikan dan merasakan perubahan-perubahan drastis yang terjadi di sekitar mereka terutama sejak boom pariwisata tahun 1980-an. Dampak-dampak yang mereka lihat adalah berubahnya lahan-lahan pertanian menjadi kawasan wisata dan pemukiman; laut, danau dan sungai yang terpolusi; volume sampah terutama yang anorganik meningkat tajam; energi dan air bersih terhambur-hamburkan; meningkatnya kepadatan penduduk sebagian oleh masuknya migran dari luar Pulau Bali, domestik maupun asing; serta meningkatnya kriminalitas, penyalah-gunaan alkohol dan narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain, dan yang masih terpendam di bawah permukaan. Jumlah orang Bali yang mulai terjerumus ke dalam perilaku yang membahayakan dan melanggar hukum juga bertambah banyak.
Belakangan ini, sejak tahun 2003 menyusul Bom Bali 2002, muncul wacana yang sekarang tersebar luas yang disebut Ajeg Bali. Wacana yang pada intinya muncul dari kekhawatiran atau kebingungan orang Bali melihat berbagai situasi negatif yang terjadi di Bali, termasuk kekhawatiran orang Bali menjadi minoritas di pulaunya akibat serbuan pendatang dari pulau-pulau lain, terutama Jawa dan Lombok. UU No. 22/ 1999 dan PP No. 25/ 2000 tentang otonomi daerah yang berfokus pada daerah Tingkat II juga dikhawatirkan bisa menggoyahkan Bali sebagai satu kesatuan alam dan budaya karena interpretasi dan kepentingan yang berbeda dari kabupaten-kabupaten yang ada di Bali. Sehingga masih ada wacana-wacana agar Bali mendapat otonomi khusus yaitu otonomi di tingkat provinsi (Lihat Tim Perumus Bali Post 2004).
Dampak atau pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali oleh para peneliti dikatakan sebagai negatif dan positif. Dampak negatif adalah terjadinya komersialisasi, komodifikasi dan profanisasi yang mengarah pada penggerusan; sedang dampak postif adalah terpacunya kreativitas seni budaya penduduk lokal untuk memenuhi kepentingan pariwisata (Lihat Ruastiti 2005; Ardika 2004). Dalam konteks seni pertunjukan tradisional pengaruh positif dan negatif juga terjadi. Munculnya kreativitas nyata sekali terlihat pada berkembang pesatnya berbagai jenis seni pertunjukan di Bali termasuk meningkatnya jumlah penggiat kesenian, namun pada saat yang sama beberapa tarian sakral termasuk elemen prosesi ritual mengalami profanisasi karena mulai dipertunjukkan kepada wisatawan.
Dinamika Seni Pertunjukan Bali dalam Konteks Pariwisata
Budaya Seni Pertunjukan Tradisional adalah elemen budaya yang paling konkret yang bisa segera ditawarkan kepada wisatawank karena sifat universal seni tari dan musik sebagai pengiringnya lebih mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan tanpa perlu keterlibatan yang mendalam; dan mudah dipaket/dikemas untuk didatangkan ke hotel-hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri dalam wujud misi kesenian untuk promosi pariwisata. Reputasi seni pertunjukan tradisional Bali sudah diakui secara luas baik oleh para spesialis maupun wisatawan kebanyakan. Seni pertunjukan adalah salah satu aset terpenting bagi citra pariwisata budaya.
Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang diperuntukkan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomersialkan. Bandem dan deBoer dalam bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti: Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan diantaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama diipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat dikenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepang di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu. Pementasan dilakukan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.
Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya bisa difahami oleh para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicari-cari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan seni sakral tersebut. Pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi.
Kiranya idealisme untuk tidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwisata sudah mulai mepertontonkan imitasi tari Sang Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prosesi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal dinner seperti yang dilakukan di puri Mengwi, Kerambitan dan ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel besar ketika menyelengarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.
Dampak Pariwisata Budaya pada Seni Pertunjukan Tradisional
Disamping permasalahan komodifikasi dan penggerusan, masalah yang sering menjadi pembicaraan adalah kurangnya penghormatan atau apresiasi para pengusaha pariwisata terhadap para seniman tradisional. Disamping pembayaran yang diberi tergolong masih rendah seni pertunjukan sering diposisikan sebagai suatu pelengkap acara, biasanya makan malam di hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan sering tidak diperkenalkan dengan semestinya. Bagaimana apresiasi mendalam bisa terjadi ketika perhatian penonton harus terbagi antara menyantap makanan dan menonton pertunjukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat pertunjukan pariwisata guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-50% dari harga tiket masuk. Demikian pula para makelar kesenian (perantara antara seniman dan pemesan) mengambil persentase yang tinggi dari harga yang ditawarkan sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat minim. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jumlah seniman /kelompok keseniann di Bali (supply yang tinggi), ditambah dengan rendahnya pengetahuan dan kemampuan manajerial kebanyakan seniman/kelompok seniman, dan karena faktor tradisi budaya ngayah (pertunjukan sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan penggiat seni. Posisi tawar para seniman di hadapan pengusaha pariwisata menjadi rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok satu dengan yang lain.
Memang ada segelintir hotel dan tempat tontonan pariwisata yang berusaha memposisikan seni pertunjukan tradisioanl sebagai suatu yang istimewa kepada tamunya. Seniman yang ditampilkan adalah seniman yang berkualitas atau seniman-seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat makan; ada usaha-usaha untuk memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan mereka bersedia memberi harga yang disodorkan seniman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya biasanya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini bisa terjadi tidak lepas dari adanya keberagaman jenis wisatawan yang datang. Ada wisatawan yang puas dengan sekedar melihat pertunjukan, ada juga yang mau melihat yang terbaik.
Ada usaha-usaha Pemda Bali melalui LISTIBIYA-nya untuk melindungi seniman dari eksploitasi dan sebaliknya memberi dukungan dan bimbingan kepada mereka agar menjaga atau malah meningkatkan kualitas. LISTIBIYA mengeluarkan semacam lisensi layak pentas untuk umum/pariwisata yang bernama Pramana Patram Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus menghimbau agar para pelaku usaha pariwisata memberi penghargaan yang lebih baik kepada seniman, baik secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No. 394 dan 395 tahun 1997 misalnya membuat patokan-patokan upah bagi berbagai jenis kelompok kesenian yang ada. Seberapa jauh implementasi dari upaya ini memang masih perlu ditelusuri. Penulis masih mengamati banyak pementasan yang dilakukan di hotel-hotel/restoran yang terkesan seadanya, dan membaca di media massa tentang keluhan kurangnya penghargaan pariwisata kepada para seniman. Barangkali pementasan yang rutin bisa jadi membuat sang penari mengalami kejenuhan, disamping ada anggapan bahwa wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang tidak.
Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis kesenian dan jumlah seniman, dan umumnya peningkatan penghasilan. Para seniman berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena lebih sering atau rutin ketimbang pertunjukan untuk adat/upacara. Perlu diketahui bahwa seni pertunjukan tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang dipercaya harus dilanjutkan. Ritual-ritual melibatkan beberapa bentuk pertunjukan seperti Sang Hyang, wayang lemah, topeng pajegan, pendet, berbagai jenis tari baris sakral; dan masih dalam konteks ritual tetapi juga untuk hiburan seperti wayang kulit pada malam hari, calon arang, atau gambuh. Meningkatnya daya beli masyarakat secara umum memungkinkan desa adat atau banjar untuk membeli perangkat gamelan yang biasanya juga merangsang terbentuknya kelompok drama/tari.
Seorang seniman muda ternama di Bali (I Nyoman Budiarta dari Batuan-Gianyar) yang penulis sempat wawancarai memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian tradisional. Ia berpendapat bahwa pariwisata memberi lebih banyak dampak positif dari negatif. Pertunjukan yang rutin memberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih sehingga menjadikan kesenian lebih kreatif dan bervariasi. Dia tidak mempermasalahkan misalnya pertunjukan yang dilakukan saat dinner karena percaya bahwa wisatawan otomatis akan lebih memperhatikan pementasan dari makanan bila pertunjukannya berkualitas. Letak permasalahan utama ada pada si seniman—apakah dia memang seniman yang berkualitas sehingga berani mematok harga atau seniman rata-rata yang mau dihargai rendah. Ia menyarankan memang perlu adanya fasilitator yang mempertemukan pengusaha pariwisata dengan seniman untuk berdialog: bahwa mereka saling membutuhkan. Pemerintah juga bisa memfasilitasi dengan membuat batasan-batasan atau rambu-rambu. Perihal tudingan bahwa telah terjadi profanisasi pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya yang membuat sebuah kesenian sakral adalah ketika dilakukan untuk ritual lengkap dengan sarana upacara, banten. Dia tidak mempersalahkan kalau ada kesenian ritual yang dikemas menjadi tontonan pariwisata sejauh tidak melibatkan banten. Dia malah berpendapat bahwa seni-seni ritual atau klasik perlu dibuatkan tiruan agar tidak punah dan kalau perlu dikembangkan.
Seorang tokoh kesenian Bali generasi tua (I Gusti Agung Ngurah Supartha dari Tabanan) melihat memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini tidak terlepas dari perkembangan jaman yang semakin modern dimana banyak hal yang menyita perhatian baik si seniman maupun masyarakat (penonton), ditambah lagi dengan berkembangnya sindrom cepat jadi, instan, tercermin pada keinginan murid-murid (termasuk orang tuanya) agar cepat bisa menari dan dipentaskan.Tantangan untuk seniman-seniman sekarang tidak seberat yang dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar sekeras dan seintensif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada penurunan kualitas. Di era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang untuk mencapai potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji. Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan kondisi untuk komunikasi saling apresiasi, komunikasi rasa mecingak. Sistim panggung sekarang yang memisahkan penari dengan penonton (terlebih lagi penayangan tari melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.
Penulis berpendapat bahwa seni pertunjukan tradisional Bali mengalami penurunan dari segi kualitas karena berkurangnya intensitas pelatihan, perenungan dan pendalaman. Taksu atau daya pikat yang terpancar dari para penari generasi sekarang tidak sekuat para penari generasi tua.
Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) di Bali Sejalan dengan berkembangnya wacana Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) maka berkembang pula wacana pariwisata berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk memenuhi kebutuhan mereka mengandung tiga prinsip yaitu keberlajutan secara ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi. Pariwisata yang diyakini dapat mengakomodasi konsep-konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) atau bersinonim dengan Ekowisata; bukan pariwisata massal seperti sekarang ini. Konsepsi dasar dari PBM adalah pariwisata yang menitikberatkan pada pemeliharaan mutu dan kelanjutan sumberdaya alam dan budaya; pariwisata yang mengemban misi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dengan tetap menjaga keseimbangan antara sumber daya alam dan budaya dengan kepuasan wisatawan. Kesejahteraan masyarakat lokal dimungkinkan tercapai bila mereka dilibatkan mulai dari perencanaan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi.
Pariwisata yang berkembang selama ini di Bali memang kurang sekali melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Usaha-usaha yang mengarah pada pariwisata berbasis masyarakat masih minim. Sepengetahuan penulis hanya Yayasan Wisnu dengan program Jaringan Ekowisata Desa-nya bekerjasama dengan empat desa yaitu Tenganan, Nusa Ceningan, Pelaga dan Sibetan yang secara serius menggarap PBM. Walau usaha yang dirintis lima tahun belakangan diakui oleh Yayasan Wisnu belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang berarti karena para pelaku masih gamang akan tugas dan peran masing-masing; salah menafsirkan keinginan turis; alasan klise permasalahan SDM; dan kurang totalnya para pelaku didalam melaksanakan program. Kurang keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari kurangnya perhatian pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat sendiri terhadap ekowisata atau PBM, karena rumit, memerlukan proses panjang sehingga dianggap tidak menguntungkan dalam jangka pendek. Namun Yayasan Wisnu tetap bertekad untuk melanjutkan proses yang sudah dijalani.
Terkait dengan konsep PBM maka pemberdayaan seni pertunjukan atau budaya secara umum perlu dilakukan. Perlu ada kajian-kajian tentang sejauh dampak pariwisata terhadap seni pertunjukan. Perlu adanya dialog antara pemerintah melalui instansi terkait seperti dinas kebudayaan, LISTIBIYA, dinas pariwisata dengan para pelaku kesenian, para penyedia pertunjukan pariwisata, serta institusi atau insan-insan yang peduli terhadap kualitas seni pertunjukan termasuk kesejahteraan para senimannya.
Kajian-kajian tentang kepariwisataan Bali yang sudah berjalan hampir satu abad pada umumnya masih tergolong terbatas tidak sebanding dengan keberadaan pariwisata yang sudah begitu dominan di Bali . Hal yang sama terjadi pada seni pertunjukan tradisional dalam hubungannya dengan pariwisata. Pariwisata yang berkonsekwensi sangat besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Bali perlu mendapat kajian-kajian yang serius terutama dampak-dampak jangka pendek dan panjangnya terhadap kesinambungan alam dan kebudyaan Bali .
Ajaran Agama Hindu yang mengandung unsur-unsur ritual, emosional dan sistem kepercayaan serta adanya unsur-unsur rasional; barong sebagai hasil karya seni rupa dapat juga diperankan sebagai “Seni Bebali” yang amat angker, merupakan sarana dan media untuk memformulasikan ajaran-ajaran agama yang dapat memperkuat keyakinan.
Nama barong amat populer dimasyarakatkan luas. Para penulis terdahulu menduga bahwa kata barong berasal dari kata bruwang, yaitu nama sejenis binatang. Satwa ini memang bukan kelahiran alam Bali, tetapi dianggap sebagai binatang mithologi yang memiliki kekuatan gaib dan dapat melindungi orang, masyarakat dan lingkungannya.
Sejak dulu sampai sekarang, hampir setiap ada pertunjukan barong senantiasa dapat memukau perhatian orang yang menontonnya. Dilihat dari bentuk kegiatannya dapat dibedakan atas dua. Pertama : berupa pameran, yaitu memperkenalkan barong sebagai hasil karya seni rupa. Kedua : berupa tontonan yaitu memperkenalkan barong dalam bentuk seni tari yang diiringi dengan instrumen gamelan.
Seperti halnya bentuk-bentuk kesenian Bali yang lainnya, pertunjukan barong merupakaan bagian penting pula dari kehidupan masyarakat Bali. Dalam kehidupan beragama, sistem kepercayaan, organisasi sosial, pelestarian lingkungan, dalam bidang arsitektur dan sebagainya pertunjukan barong mendapat tempat atau merupakan bagian yang cukup menonjol.
Dalam hubungan dengan arsitektur tidak jarang wajah barong terpampang sebagai ornamen bagian dari bangunan tertentu yang memberi arti tersendiri. Disamping wujud barong itu sendiri juga menampilkan seni arsitektur dan seni rupa lainnya.
Memperhatikan perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari proses globalisasi dewasa ini, dengan sendirinya pula akan memberi dampak pada berbagai aspek termasuk kesenian barong itu sendiri. Dengan demikian kesenian barong kiranya patut mendapat perhatian, mengingat telah lama bersentuhan dengan unsur-unsur budaya luar seperti halnya kesenian yang lain.
Kehadiran mithologi baik lewat tradisi-lisan maupun tulis, setelah dihayati oleh orang-orang yang memiki data kreativitas dan aktivitas serta bakat yang memadai tidak mengherankan bahwa bisa jadi menimbulkan ide atau gagasan-gagasan yang dapat menelorkan hasil karya seni. Bisa terjadi adanya hubungan saling mempengaruhi antara mithologi sarana dan ide tersebut yang pada gilirannya akan muncul suatu hasil karya yang berbobot.
Demikianlah halnya barong sebagai hasil produk seni rupa dan juga merupakan sarana bagi suatu pertunjukan baik dalam bentuk pameran maupun tontonan.




1.2. Ruang Lingkup

Pulau Bali

Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.

Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.








1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya yang berjudul “Kesenian Tari Barong”
ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk memenuhi persyaratan mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAN).
2.     Sebagai pertanggung jawaban atau tugas dari sekolahan dan guru.
3.     Untuk mengetahui tentang Pulau Bali.
4.     Untuk mengetahui Tari Barong.
           

1.4. Metode Penulisan
            Dalam rangka informasi atau data yang lengkap dalam karya tulis, penulis memakai metode sebagai berikut :
1.     Metode Wawancara
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan narasumber
Nama                   : Bli Nyoman
Usia            : 57 thn
Pekerjaan    : Pemandu Wisata Bali
         
2.     Metode Obsesi

Yaitu gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang,

Nama                   : Peristiwa Pementasan Tari Barong

Tempat       : Gedung Putra,celuk-Sukowati Gianjar,Bali.

Media                   : Barong











3.     Metode Pengumpulan Data

Yaitu sebuah kegiatan penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas dan reliabilitasnya untuk mengungkap atau menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian melalui pendekatan penelitian kuantitatif atau kualitatif serta pendekatan lain yang relevan.

-Brosur
-Internet
-Perpustakaan
-Buku Panduan

         



.1.5. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini antara lain.

a. Untuk Mengetahui Pengertian Metode Pengumpulan Data

b. Untuk Mengetahui Metode Pengumpulan Data

c. Untuk Mengetahui Langkah-langkah Pengumpulan Data
           
d. Untuk Mengetahui Konsep Metode Pengumpulan Data Masa Kini

2. Kegunaan Penulisan
Kegunaan makalah penulis harapkan dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut.

a. Teoritis

Pada tataran ini sebagai suatu kontribusi akademis dalam pengumpulan data terhadap penelitian yang dilakukan.

b. Praktis

Bagi penulis dapat dijadikan sebagai pola kerja yang terarah ketika menjadi peneliti supaya terbentuk komunikasi yang baik, sehingga menghasilkan data yang valid dan reliabilitasnya terukur




BAB II Pembahasan Masalah


2.1. Sejarah Tari Barong


Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki empat, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya.



Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau Bali, di antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong Macan, Barong Landung. Namun, di antara jenis-jenis Barong tersebut yang paling sering menjadi suguhan wisata adalah Barong Ket, atau Barong Keket yang memiliki kostum dan tarian cukup lengkap.

Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara singa, harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit, potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari (juru saluk/juru bapang): satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang memainkan kaki belakang dan ekor Barong.

Secara sekilas, Barong Ket tidak jauh berbeda dengan Barongsai yang biasa dipertunjukkan oleh masyarakat Cina. Hanya saja, cerita yang dimainkan dalam pertunjukan ini berbeda, yaitu cerita pertarungan antara Barong dan Rangda yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Kera (sahabat Barong), Dewi Kunti, Sadewa (anak Dewi Kunti), serta para pengikut Rangda.
Barong dilihat dari segi bentuk merupakan hasil karya seni rupa dalam fungsi sakral dapat memantapkan keyakinan umat serta fungsi provan bila mana barong itu dipertunjukkan sebagai tontonan dan pameran yang dipajangkan.
Pengaruh kemajuan iptek dan globalisasi serta perkembangan sektor pariwisata yang demikian pesat dengan sendirinya akan memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan termasuk kesenian barong itu sendiri. Sebab sistem berkesenian bi Bali secara fungsional dan struktural memduduki posisi menonjol, sentral dan integral yang sangat erat kaitannya dengan sistem lainnya seperti sistem relegi, kemasyarakatan, pengetahuan, mata pencaharian, teknologi dan lain-lain.
Pertunjukan barong merupakan implikasi dari seni provan dapat berfungsi sebagai wahana untuk menuangkan ide dan gagasan oleh para seniman dalam mengembangkan kreativitas menginterpretasi simbolik suatu mithologi yang diperoleh secara lisan maupun tulisan.
Demikian pula secara struktural kehadiran barong sebagai seni rupa dan seni pertunjukan dapat memberikan nilai guna praktis dan guna integratif bahkan dapat berperan sebagai media transmisi dalam mentransformasikan sistem nilai budaya Bali yang dikemas lewat ceritra yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu.

























2.2. Jenis Barong

Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau Bali, di antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong Macan, Barong Landung. Namun, di antara jenis-jenis Barong tersebut yang paling sering menjadi suguhan wisata adalah Barong Ket, atau Barong Keket yang memiliki kostum dan tarian cukup lengkap.

Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara singa, harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit, potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari (juru saluk/juru bapang): satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang memainkan kaki belakang dan ekor Barong.

Secara sekilas, Barong Ket tidak jauh berbeda dengan Barongsai yang biasa dipertunjukkan oleh masyarakat Cina. Hanya saja, cerita yang dimainkan dalam pertunjukan ini berbeda, yaitu cerita pertarungan antara Barong dan Rangda yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Kera (sahabat Barong), Dewi Kunti, Sadewa (anak Dewi Kunti), serta para pengikut Rangda.









Macam-macam Tari Barong :

Barong Ket

Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.

















Barong Bangkal


Bangkal artinya babi besar yang berumur tua, oleh sebab itu Barong ini menyerupai seekor bangkal atau bangkung, Barong ini biasa juga disebut Barong Celeng atau Barong Bangkung. Umumnya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) oleh dua orang penari pada hari-hari tertentu yang dianggap keramat atau saat terjadinya wabah penyakit menyerang desa tanpa membawakan sebuah lakon dan diiringi dengan gamelan batel / tetamburan











Barong Landung



Barong Landung adalah satu wujud susuhunan yg berwujud manusia tinggi mencapai 3 meter. Barong Landung tidak sama dengan barong ket yg sudah dikomersialisasikan. Barong Landung lebih sakral dan diyakini kekuatannya sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan umat. Barong Landung banyak dijumpai disekitar Bali Selatan, spt Badung, Denpasar, Gianyar, Tabanan.













Barong Macan


Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor macan dan termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan masyarakat Bali. Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan gamelan batel.















2.3. Asal-usul Rangda
Menurut etimologinya, kata Rangda yang kita kenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti janda (L. Mardiwarsito, 1986:463). Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa yaitu, Wesya, Ksatria dan Brahmana.

Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu. Kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda. Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang 'aeng' (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa).

Hal ini terutama kita dapatkan dalam pertunjukan-pertunjukan cerita rakyat. Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu bila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak).

Sesungguhnya pengertian di atas lebih banyak diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur Rangda. Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.

Ada juga cerita yang lain, namun itu hanyalah kreasi para seniman seperti: Lakin Kunti Srya, Nang Aprak, Celedu Nginyah, Men Muntregan, Balian Batur, Campur Taluh (Talo) dan Kaki Tua. Juga cerita-cerita mythologi dan sejarah seperti Kalikek, Jayapati dan Sudarsana.

Jenis-jenis Rangda
 Mengidentifikasi jenis-jenis Rangda yang berkembang di Bali amat sulit. Hal ini mengingat wujud Rangda pada umumnya adalah sama. Memang dalam cerita Calonarang ada wujud Rangda yang lain seperti Rarung, Celuluk namun itu adalah antek-antek dari Si Calonarang dan kedudukannya lebih banyak dalam cerita-cerita bukan disakralkan. Untuk membedakan wujud Rangda adalah dengan melihat bentuk mukanya (prerai), yaitu :

Bentuk Nyinga
 Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai singa dan sedikit menonjol ke depan (munju). Sifat dari Rangda ini adalah galak dan buas.

Bentuk Nyeleme
 Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai wajah manusia dan sedikit melebar (lumbeng). Bentuk Rangda seperti ini, menunjukkan sifat yang berwibawa dan angker.

Bentuk Raksasa
 Apabila bentuk muka Rangda ini menyerupai wujud raksasa seperti yang umum kita lihat Rangda pada umumnya. Biasanya Rangda ini menyeramkan.



2.4. Jalan Cerita Tari Barong

Barong !!! mendengar kata ini sebagian besar ingatan dan pikiran kita pasti akan menuju ke suatu pulau yang konon menurut cerita merupakan tempat berkumpulnya para dewata ………..yach jelas sekali pasti BALI. Tidak akan lengkap rasanya kalau kita tidak menyaksikan secara langsung salah satu kebudayaan warisan leluhur yang paling sering dipentaskan dan dikenal memiliki perbendaharaan gerak tari yang komplit……. Tari BARONG. Perwujudan tari Barong dikenal dengan nama Barong Ket, yang merupakan satu bentuk perpaduan antara singa, macan, dan sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak. Wujud dan implementasi Barong Ket tersebut bila di tanah Jawa (tepatnya di Ponorogo-Jawa Timur) dikenal dengan nama Reog Ponorogo.
Barong adalah karakter dalam mitologi Bali dan merupakan perwujudan raja dari roh-roh yang melambangkan kebajikan (dharma). Sedangkan lawannya adalah Rangda yang menggambarkan keburukan (adharma). Barong dalam mitologi Bali konon digerakkan oleh roh yang dikenal dengan nama Banas Pati Rajah, yaitu roh yang mendampingi seorang anak dalam hidupnya. Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan dalam wujud seekor singa. Setiap Barong dari yang mewakili daerah tertentu digambarkan sebagai hewan yang berbeda, seperti babi hutan, harimau, ular atau naga, dan singa. Bentuk Barong sebagai singa sangatlah populer dan berasal dari Gianyar. Dalam Calonarong atau tari-tarian Bali, Barong menggunakan ilmu gaibnya untuk mengalahkan Rangda.



Untuk menarikannya Barong ini diusung oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk / Juru Bapang, satu penari di bagian kepala dan yang lainnya di bagian pantat dan ekornya. Tari Barong Keket ini melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang merupakan paduan yang selalu berlawanan (rwa bhineda), yang diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan. Dari beberapa sumber (penjelasan dan uraian para tour guide lokal) ada yang mengatakan tari ini aslinya berasal dari negeri Tirai Bambu (Cina), karena menyerupai tarian Barongsai, walaupun ini juga masih banyak menimbulkan pro dan kontra. Tetapi yang pasti tarian ini sangat menarik (apalagi bila disaksikan secara live), karena sarat akan nilai cerita (pertentangan antara kebajikan dan keburukan yang tidak pernah berhenti) dengan disertai selingan lelucon segar.

Tari Barong juga sarat dengan unsur mistis (seperti tari Debus dari Banten), dimana para penarinya dirasuki oleh makhluk-makhluk halus, terutama pada adegan mereka berusaha untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu, dalam setiap pementasan pasti ada pemuka adat yang bertugas untuk menjaga para penarinya untuk kebal dan tidak melewati batas.

Pementasan Tari Barong terdiri dari beberapa babak alur cerita yang saling berkaitan, yaitu


Gending Pembukaan
 Menggambarkan suasana barong dan kera sedang berada didalam hutan lebat, tak lama kemudian muncullah tiga orang bertopeng yang menggambarkan tiga orang yang sedang membuat tuak di tengah-tengah hutan, dan salah satu anak dari  orang tersebut diduga telah dimakan oleh Barong. Melihat barong maka, kemudian ketiga orang itu sangat marah dan menyerang barong dan kera,  ternyata dalam perkelahian ini hidung diantara salah seorang dari ketiga orang itu digigit oleh kera.

Babak Pertama dan Kedua: Jalan cerita yang diungkapkan pada babak ini adalah perjalanan para pengikut dari Rangda yang sedang mencari pengikut Dewi Kunti yang sedang dalam perjalanan untuk menemui patihnya. Setelah para pengikut Dewi Kunti tiba, maka tiba-tiba salah satu dari pengikut Rangda berubah rupa menjadi setan (semacam Rangda) dan memasukkan roh jahat kepada pengikut Dewi Kunti yang menyebabkan mereka bisa menjadi marah. Alur cerita selanjutnya adalah gerak dinamis kedua pengikut (Dewi Kunti dan Rangda) menemui Patih dan bersama-sama menghadap Dewi Kunti.

 Babak Ketiga: Babak ini menggambarkan peran roh jahat yang dimasukkan ke dalam Dewi Kunti untuk mengorbankan anaknya sendiri Sadewa kepada Rangda. Babak ini dimulai dengan kemunculan Dewi Kunti dan anaknya yang bernama Sadewa, kemudian alur cerita yang berkembang menggambarkan janji Dewi Kunti kepada Rangda untuk menyerahkan Sadewa sebagai korban. Sebenarnya Dewi Kunti tidak sampai hati mengorbankan anaknya tetapi Rangda memasukkan roh jahat kepada Dewi Kunti, sehingga menyebabkan Dewi Kunti menjadi pemarah dan tetap berniat mengorbankan Sadewa anaknya.  Oleh sebab itu Dewi Kunti mengutus patihnya untuk membuang Sadewa ke dalam hutan,  sementara itu sang Patih inipun tidak luput dari kemasukan roh jahat, sehingga sang Patih dengan tanpa perasaan kemanusiaan menggiring Sadewa ke dalam hutan dan mengikatnya di muka istana sang Rangda.


Babak Keempat: Babak ini menggambarkan kekuatan dan anugerah Sang Dewa (Dewa Siwa) untuk memberikan bantuan dan pertolongan kepada umat manusia yang memerlukan. Pementasan pada babak ini dimulai dengan turunnya Dewa Siwa untuk memberikan keabadian hidup kepada Sadewa dalam bentuk pemberian ilmu kekebalan tubuh, dan kejadian ini tidak diketahui oleh Rangda.  Sesaat kemudian datanglah Rangda yang berniat untuk mengoyak-ngoyak dan membunuh Sadewa, tetapi Sadewa yang telah terikat tidak dapat dibunuhnya karena ilmu kekebalan yang dianugerahkan oleh Dewa Siwa.  Tahapan berikutnya yang diekspresikan adalah menyerahnya Rangda kepada Sadewa, serta memohon untuk diselamatkan agar dapat masuk sorga. Permintaan Rangda ini dikabulkan oleh Sadewa, sehingga berikutnya Rangda dapat masuk surga.



Babak Kelima: Babak ini menggambarkan pertentangan abadi antara kebajikan dan keburukan di kehidupan ini. Babak ini dimulai dengan pementasan Kalika (salah seorang pengikut Rangda) menghadap kepada Sadewa untuk memohon diselamatkan juga, tetapi hal ini ditolak oleh Sadewa. Penolakan ini menimbulkan perkelahian sengit, dan Kalika pada saat itu langsung berubah rupa menjadi “babi hutan”, serta kemudian pertarungan ini berhasil memperoleh kemenangan. Karena kalah maka kemudian Kalika (babi hutan) ini berubah menjadi “burung” , walaupun sudah berubah tetapi tetap dapat dikalahkan. Akhirnya Kalika (burung) kembali berubah rupa menjadi sosok yang paling sakti, yaitu Rangda. Oleh karena saktinya Rangda ini, maka Sadewa tidak dapat membunuhnya, sehingga pada akhirnya Sadewa berubah rupa menjadi Barong. Karena sama-sama sakti, maka pertarungan dan perkelahian antara Barong dan Rangda ini berlangsung terus abadi sampai dengan sekarang , yaitu perang antara “kebajikan” versus “kebatilan”.














BAB III ANALISIS
Tenarnya Bali di kawasan internasional selain karena keindahan alamnya juga karena masyarakatnya berkebudayaan tinggi. Salah satu ciri khas kebudayaan Bali yang menarik perhatian karena orang Bali mendambakan keharmonisan antara kepentingan keagamaan, kemasyarakatan dan wilayah tempat tinggal serta lingkungannya termasuk sumber kehidupan secara mendalam. Ciri-ciri tersebut sering muncul dalam wujud etis dan estetis. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua unsur terintegrasi dalam adat istiadat Bali. Sejarah juga menjelaskan kehidupan seperti ini berakar dari masa pra Hindu. Kehadiran agama Budha dan Hindu di Bali berpangaruh serta menjiwai pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Sejak awal sampai masa kini pertumbuhan dan perkembangan tersebut seirama dengan dinamika perubahan masyarakat secara kompleks, terklarifikasi atas tiga periode yaitu masa “tradisi kecil”, “tradisi besar”, dan “tradisi modern”.
Berdasarkan bukti-bukti berupa benda peninggalan sejarah dapatlah diketahui tentang kehidupan dan sosial budaya masyarakat pada jamannya. Diantaranya seperti sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem mata pencaharian, teknologi dan pengetahuan dan lain-lain termasuk sistem kesenian.
Demikianlah terutama pada masa tradisi besar di Bali, dengan adanya pangaruh kebudayaan Hindu dan Budha, kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang seirama dengan perubahan jaman.
Dalam buku Ensiklopedia Tari Bali mengutarakan bahwa bentuk tapel barong yang ada di Bali, nampak adanya suatu perpaduan antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Bali Kuno, khususnya kebudayaan Hindu yang bercorak Budha. Tapel-tapel barong seperti itu juga terdapat pada negara-negara penganut Budha seperti Jepang dan Cina.
Dengan demikian sementara dapat diduga bahwa kesenian barong di daerah Bali dapat diperkirakan sudah populer sejak masa awal tradisi besar, yaitu sejak awal masa kebudayaan tradisional, seterusnya hidup dan berkembang sampai masa kini.
Sistem pengembangan dan pelestariannya sejak dulu sampai masa terakhir ini masih mengikuti pola-pola “Tradisi Lisan”. Maksudnya sistem belajar-mengajar kesenian dengan metoda peniruan “meniru adalah meguru”. Bagi seorang guru akan menjadi amat senang dan bahagia, bila muridnya dapat berhasil. Demikian pula murid-muridnya. Khususnya mengenai kesenian barong di Bali. Pada suatu sisi barong ket termasuk katagori seni tapel. Proses pembuatannya menunjukan suatu hasil karya seni rupa. Dalam hal ini si pencipta melalui suatu aktivitas dan kreativitas ingin mewujudkan gagasannya. Tidak mustahil bahwa ia selalu terikat pada situasi dan kondisi kehidupannya. Alam lingkungan, sistem sosial-budayanya, bahan dan peralatan produksinya sudah tentu mempengaruhi usahanya. Lewat hasil karyanya ia selalu ingin membuat sesuatu yang terbaik untuk disuguhkan kepada para pengamat dengan harapan memperoleh suatu dukungan dan penghargaan. Lebih jauh lagi diharapkan pula dapat berfungsi bagi kehidupan dalam arti luas.
Para seniman Bali yang masih memiliki alam pikiran tradisional, apabila berkarya lebih menonjolkan rasa pengabdian kepada masyarakat. Imbalan jasa yang diperolehnya dapat dibedakan menurut sifatnya, yaitu imbalan bersifat psikologis atau spiritual dan material. Ide atau gagasan yang diwujudkan berupa berupa tapel barong ket seperti tersebut di atas, diperoleh melalui pengalaman, belajar dengan berguru dan bergaul dimasyarakat. Beberapa orang seniman walaupun bersama-sama menciptakan tapel barong, tetapi masing-masing memiliki kekhasan (berbeda) antara satu dengan yang lainnya. Munculnya kekhasan atau kejiwaan tersebut pada suatu hasil karya seni biasanya tampak dari bentuk, pola dan struktur serta garis-garis penyelesaiannya luwes dan serasi komposisinya, dapat memberikan gaya tersendiri. Tambahan lagi adanya pemakaian warna atau “pepulasan” yang dapat dinilai seninya pula. Di Bali barong umumnya dibuat dari bahan-bahan antara lain seperti punggalan atau topengnya dibuat dari kayu pule dan ada juga dari kayu bentaro; bulunya dari “praksok” (serat daun tumbuh-tumbuhan praksok), adapula dari ijuk, bulu burung gagak dan bulu burung merak. Sedangkan bagian-bagian perhiasannya sampai pada ekornya dibuat dari kulit sapi yang dihaluskan dan bertatah ukiran-ukiran dipulas dengan cat warna emas (perada) dan ditempel dengan kepingan-kepingan kaca.
Pada sisi yang lain disamping barong sebagai hasil karya seni rupa seperti tersebut di atas juga berfungsi sebagai sarana seni drama tari dalam bentuk tontonan. Cukup penting peranannya dalam suatu pagelaran, terutama saat melakonkan tema ceritera yang mengandung makna “dharma” dan “adharma”. Diantara seperti pertentangan antara kebajikan dan kebatilan, sifat-sifat baik dan buruk dan sebagainya. Sebagai ilustrasi berikut ini akan diutarakan suatu pagelaran barong dengan tema ceritera “Kunti Sraya”. Di satu pihak barong dengan sifat-sifat baik, dan Rangda dengan sifat-sifat “pralina” atau menghancurkan.
Pertunjukan dengan tema ceritera “Kunti Sraya” terkenal disebut Tari Barong dan Keris. Tema ceritera ini mengandung filosofis keagamaan, kepercayaan pandangan hidup orang Bali, disamping mengandung nilai-nilai etika dan estetika. Ceritera Kunti Sraya adalah cuplikan dari ceritera Mahabharata yang mengisahkan Dewi Kunti sedang mengemban anak-anak menuju kedewasaannya. Penuh rintangan dan godaan. Rintangan dan godaan dengan segala macamnya, sesungguhnya datang dari pihak lawannya, ialah dari pihak Korawa yang senantiasa was-was akan kebesaran Pandawa dikemudian hari. Salah satu macam rintangan yang dialami Kunti ialah merupakan suatu kewajiban menebus dosa dengan beryadnya yang dipersembahkan kepada Bhatari Durgha, sebagai sakti Çiwa. Dalam kemelut seperti ini secara sadar sesungguhnya Kunti tidak sampai hati mengorbankan anaknya sendiri, Sahadewa. Berkat pengaruh magic dari pihak lawan terhadap jiwa dan pikiran Kunti yang sedang kalut, akhirnya bersedia juga mengorbankan Sahadewa. Dan berkat kekuatan yang dianugrahkan oleh Çiwa maka Sahadewa luput dari cengkraman Dewi Durgha dan anak buahnya serta ia dapat meruwat Durgha kembali menjelma menjadi Dewi Uma.
Ceritra ini dikisahkan dalam bentuk pertunjukan, jalan ceriteranya diatur sedemikian rupa dengan berbagai variasi tanpa menghilangkan pokok ceriteranya, sehingga peranan Barong dan Rangda tetap tampil secara beroposisi.
Tari Barong dan Kris (Barong and Kris dance) seperti yang digelar setiap hari di Desa Singapadu misalnya. Tampaknya lakon ceritera Kunti Sraya diiringi juga dengan tabuh gamelan yang komunikatif. Sebagai ilustrasi jalan ceriteranya dimana barong pada babak pembukaan berperan sebagai harimau memakan manusia sebagai mangsanya. Pada babak pertama tampil dua penari mengikuti jejak para pengikut Dewi Kunti yang akan minta bantuan menuju tempat kediaman patihnya. Pada babak kedua para pengikut Dewi Kunti tiba ditempat yang ditujuannya. Tiada lama berselang salah seorang pengikut Rangda berganti rupa menjadi setan berupa “Pangpang” atau “Celuluk” lalu memasukkan pengaruh kekuatan magic bersifat jahat dalam pikiran para pengikut Dewi Kunti, sehingga menjadi garang dan keras kepala. Kedua petugas itu setelah menemui “Patih” selanjutnya bersama-sama menghadap Dewi Kunti. Dalam babak ketiga, muncullah Dewi Kunti diiringi anaknya Sahadewa. Pada kesempatan itu Dewi Kunti telah berjanji dengan Durgha akan menyerahkan Sahadewa untuk dijadikan kurban. Sesungguhnya Dewi Kunti tidak sampai hati menyerahkan putranya tetapi karena kesurupan roh jahat, pendiriannya menjadi berubah lalu mengambil keputusan berdasarkan emosi membara. Patihnya diperintahkan agar mengantar Sahadewa ke kuburan. Sahadewa diikat dengan tali pada pokok pohon kayu besar. Sahadewa bersikap pasrah sambil meratap dengan kesedihan terhadap Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Pada babak ke empat, Dewa Çiwa turun lalu menganugrahkan suatu kekuatan yang luar biasa dahsyatnya kepada Sahadewa. Seketika itu pula Sahadewa menjadi kebal dan sakti. Kehadiran Durgha pada kesempatan ini yang sedianya “menadah” (memakan dan menghaniaya) Sahadewa tetapi tidak mampu, Durgha berupa Rangda, menyadari bahwa dia telah kalah, akhirnya memohon kepada Sahadewa agar mau “meruwat” Durgha agar seketika bisa kembali ke sorga. Babak terakhir, pengikut Durgha pun yang bernama Kalika meminta agar dirinya “diruwat” juga oleh Sahadewa. Sahadewa menolaknya. Timbullah perkelahian dahsyat. Kalika berubah menjadi babi-hutan lalu kalah, berubah lagi menjadi burung Garuda, kalah juga, dan terakhir berubah lagi menjadi Rarung (Rangda Barak) dengan kesaktian yang menyamai Durgha, Sahadewa menunjukkan kekuatannya yang dianugrahi oleh Dewa Çiwa dengan berubah pula menjadi Barong. Oleh karena sama saktinya, pertarungan antara Barong melawan Rangda tidak ada yang kalah atau menang. Pertarungan tersebut memiliki sifat abadi antara kebajikan melawan kebatilan yang disertai dengan para pengikut Barong masing-masing membawa keris. Mereka hendak menolak kekuatan Rangda, namun tidak mampu. Itu berarti pertarungan antara kebajikan melawan kebatilan, sesungguhnya tidak hanya terdapat di bhuwana agung (alam semesta) melainkan juga terdapat pada bhuwana alit (diri setiap orang). Dipertandai dengan “ngunying” atau “ngurek”, yaitu menusuk-nusuk diri dengan kris.
Memperhatikan rentang waktu kehadiran kesenian Barong di Bali, proses pembuatan sampai terwujudnya sebagai suatu hasil karya seni rupa, demikian pula penjelasan singkat mengenai jalannya pergelaran dengan menampilkan sebuah ilustrasi seperti terurai di atas, telah menunjukkan adanya pola-pola tertentu sesuai landasan konsep yang diterapkan pada bahasan ini.
Secara struktural kehadiran Barong sebagai seni rupa dan sarana seni pertunjukan atau pergelaran, merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali, dan merupakan warisan sejak jaman dulu. Kehadirannya tidak hanya bernilai guna praktis, yaitu untuk hiasan suatu tempat atau bangunan, malainkan juga memiliki nilai guna integratif bagi sekelompok orang atau masyarakat. Bahkan juga dapat dikatakan sebagai media komunikasi antara pencipta, masyarakat pendukung dan alam lingkungannya. Demikian juga Barong sebagai sarana seni tari. Para penonton dapat ikut berperan aktif memperhatikan dan mengamati konsep-konsep ajaran keagamaan, kemasyarakatan dan sebagainya yang ditransmisikan para pelaku lewat Barong sesuai tema ceriteranya. Dalam suasana suatu pergelaran seperti uraian diatas, Barong dapat berperan lebih dari satu, misalnya dapat sebagai macan (harimau) dan dapat pula sebagai Banaspati Raja (Raja Hutan). Di samping peranan pelaku memainkan Barong dengan pola-pola gaya tari yang memukau, perhatian penonton sangat penting artinya. Karya seni yang diciptakan seperti ini, dinikmati oleh masyarakat dan juga para pencipta dan pelakunya.













BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1.     Pulau Bali

Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan. Pulau Bali salah satu  pulau Dewata di Indonesia, pemandangan alam sangat indah dan menarik.

2.     Tari Barong

Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki empat, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya.
Seluruh uraian diatas, khususnya sesuai dengan sasaran, jangkauan dan batasan serta permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini, dapat disimpulkan antara lain :
1.     Barong Ket dilihat dari bentuk dan strukturnya adalah merupakan hasil karya seni rupa, sebagai wahana, gagasan atau ide-ide termasuk pula nilai-nilai budaya yang dianut seniman penciptanya.
2.     Barong Ket marupakan wujud binatang mitologi adalah sebagai simbol kebenaran dan lambang kekuatan Sanghyang Çiwa yang amat dahsyat dan bersifat penyelamat, beroposisi dengan sifat “pralina” atau memusnahkan, menurut sistem kepercayaan masyarakat Bali yang beragama Hindu.
3.     Pertunjukan Barong Ket dapat pula berperan sebagai media komunikasi antara pencipta, penari atau para pelaku dan masyarakat penontonnya.
4.     Pertunjukan Barong Ket, baik berupa pemeran yang dipajangkan, maupun berupa tari-tarian dengan segala variasi menurut tema ceriteranya, dapat dikatakan sebagai transmisi dan transformasi nilai-nilai budaya dan ajaran agama Hindu.

















3.2. Saran
Bali adalah pulau Dewata yang keindahanya luar biasa bisa dikatakan surganya dunia. Banyak orang asing pergi ke pulau dewata itu untuk melihat keindahan yang ada di Bali. Apalagi keindahan lautny, kebanyakan orang melihat pantai, salah satuny Pantai Kute,Tanah Lot. Itu pantai-pantai yang terkenal di Bali.
Dan Tarian Barong khas dari Bali, tarian ini harus dibudidayakan selamanya. Tarian ini tidak hatus dipunahkan, jika tarian ini punah atau tidak ada yang melakukan tarian ini tarian ini akan punah unuk selamanya,karna perubahan zaman sekarang ini. Kita turut melestarikan tarian ini hingga akhir massa. Jangan sampai negara lain mengambil tarian ini sudah banyak trian yang diambil oleh negara lain. Bagi penerus bangsa mari kita lestarikan tarian ini,bukan Cuma tarian ini saja melainkan semua budi daya di Indonesia. Jangan sampai diambil negara lain, jika bisa kita meniru gaya yang positif dari negara lain. Bentuk pelestarian yang sudah ada yang kemudian dibina agartidak punah. Setiap kota-kota besar hendaknya mendirikan pusat seni. Mengenalkan seni / kebudayaan Indonesia kepada anak-anaksekolah bertujuan memberikan gambaran betapa kaya negerikita akan kebudayaan diharapkan nantinya dapat terjaga danmelestarikan kebudayaan tersebut.
Demikianlah sekelumit tentang keberadaan Barong Ket dilihat dari sudut pandang terbatas menurut bentuk, struktur dan fungsinya dalam kesenian di Bali. Karena kehadiran Barong dan sebagai seni rupa, pertunjukan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali, patut diangkat selanjutnya diwariskan kepada generasi mendatang.













Daftar Pustaka



Pratiwi, Ratna 2008 Sejarah Bali. Jakarta : Erlangga yasih 2E, 2001. Kampus praktis bahasa Indonesia Surabaya.
Cipta bangsa
http//;www.google.com
             ;www.bali.go.id
            ;www.wikepedia.com
            ;www.baliguide.com
http : //www.google.com.Tari Barong Bali . Tarian khas dari Bali , 3 juni 2010
http : // www.kapan lagi.com . Tari barong Bali 30 mei 2010

2001 pribahasa Indonesia
Moh Syamsul Hidayat S.pd  RPUL 2004-2009. Apllo Surabaya www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91369&lokasi=lokal